Foto : Hery Sunaryo SH |
Karena itu,
seharusnya para wakil rakyat diambil dari jiwa-jiwa terbaik dari bangsa ini.
Namun, sudahkah jiwa-jiwa terbaik bangsa ini yang mengisi posisi penentu masa
depan bangsa tersebut? Kenyataannya, beberapa tahun terakhir, sosok wakil
rakyat, khususnya DPR, terpuruk dan menjadi sorotan publik.
Kinerja
anggota DPR dinilai buruk dan bermasalah secara etika, mulai dari kunjungan ke
luar negeri yang tidak jelas pertanggungjawabannya hingga pengadaan fasilitas
kerja yang mewah. Lebih memprihatinkan lagi adalah keterlibatan sejumlah
anggota Dewan, yang hampir merata dari semua partai politik, dalam kasus
korupsi. Berpijak dari kenyataan itu, Pemilihan Umum 2019 diharapkan dapat
menghasilkan para legislator yang lebih baik, yang betul-betul bekerja untuk
kepentingan bangsa di atas kepentingan lainnya.
Namun,
sudahkah persiapan ke arah tersebut dilakukan, baik oleh partai politik maupun
rakyat yang akan memilih wakilnya nanti di DPR/DPRD? Melihat perilaku parpol,
relatif belum ada perubahan yang signifikan dalam sistem perekrutan calon
anggota legislatif (caleg) mereka.Di beberapa parpol, kaderisasi dilakukan
secara instan dengan membekali kader atau simpatisan, antara lain dengan visi
misi parpol dan tugas kepartaian, dalam sebuah forum seperti seminar.
Kalangan
elite parpol mengakui, cara itu belum cukup untuk menciptakan kader yang
sebenarnya. Karena itu, tak heran jika kader yang dihasilkan banyak yang belum
siap menjadi pejabat politik. Ditambah lagi, realitas politik di Indonesia saat
ini, orang masuk ke parpol umumnya orang yang mempunyai uang dan ambisi
kekuasaan.
Menjelang
pemilu, parpol sering kali merekrut kader secara dadakan, yaitu mereka yang
mempunyai popularitas tinggi, seperti para pesohor. Dengan dikenal masyarakat,
paling tidak elektabilitas mereka juga akan tinggi, apalagi mereka umumnya juga
mempunyai modal uang.
Meski tidak
dimungkiri ada dari beberapa pesohor yang memang kompeten, secara umum mereka
benar-benar orang yang belum mengenal dunia politik. Dengan kondisi seperti
itu, ditambah dengan pola perekrutan bakal caleg dengan membuka pendaftaran
caleg kepada umum yang dilakukan sejumlah parpol, bisa dipastikan masih jauh
dari harapan akan muncul caleg-caleg yang kompeten.
Banyak
tudingan bahwa mereka yang mendaftar tersebut pada umumnya hanyalah pencari
kerja karena memang banyak yang belum pernah berkecimpung di bidang politik
atau sosial kemasyarakatan.Sejumlah parpol yang menggelar perekrutan calon
secara terbuka beralasan calon yang mendaftar diseleksi secara ketat sehingga
yang terseleksi sudah memenuhi kualifikasi sebagai caleg.
Parameter
yang dipakai antara lain tingkat pendidikan calon yang sebagian besar sarjana
(S-1), bahkan S-2 dan S-3. Pendidikan ini dipercaya menjadi parameter untuk
mengukur integritas dan etika para calon dan salah satu penentu untuk membuat
kualitas Dewan lebih bagus. Relatif tidak ada parpol yang mensyaratkan mereka
yang mendaftar berpengalaman di bidang sosial kemasyarakatan. Atau dengan kata
lain, mereka ”terlatih” atau mempunyai jam terbang tinggi dalam kegiatan yang
langsung bersentuhan dan untuk kepentingan masyarakat.
Diyakini,
ini merupakan salah satu ukuran untuk melihat kompetensi mereka dalam
memperjuangkan kepentingan masyarakat. Kenyataannya, dengan pola perekrutan
yang dilakukan parpol saat ini, tidak akan mudah bagi masyarakat untuk melihat
mana caleg yang kompeten untuk menjadi wakil mereka(kb)
Rilis :Hery Sunaryo SH
Editor : Beny
Tidak ada komentar:
Posting Komentar