Debat bukan sabung ayam. Tapi kita
telanjur menikmatinya begitu. Menunggu ada yang keok. Lalu bersorak, lalu
mengejek. Hasrat ejek-mengejek inilah yang kini menguasai psikologi politik
kita: mencari kepuasan dalam kedunguan lawan.
Advertisement
Debat adalah seni persuasi.
Seharusnya ia dinikmati sebagai sebuah pedagogi: sambil berkalimat, pikiran
dikonsolidasikan. Suhu percakapan adalah suhu pikiran. Tapi bagian ini yang
justru hilang dari forum debat hari-hari ini. Yang menonjol cuma bagian
demagoginya: busa kalimat. Pada kalimat berbusa, kita tak menonton keindahan
pikiran.
Dalam suatu rapat politik, Haji Agus
Salim, salah seorang pendiri negeri, berpidato memukau. Lawan politiknya datang
mengganggu dengan meneriakkan suara kambing: embeeek… embeeek. Teriakan itu
jelas untuk menghina. Janggut Agus Salim memang mirip janggut kambing. Rapat
jadi gaduh. Caci-maki memenuhi ruangan.
Tapi Agus Salim tak terusik. Dengan
tenang ia berbicara: “Maaf, ini rapat manusia. Mengapa ada suara kambing?”
Rapat berlanjut, setelah gelak tawa meledak.
Politik adalah kecerdasan. Haji Agus
Salim tak mengejek balik. Ia hanya memakai otaknya untuk membungkam lawan. Ia
memberi pelajaran. Politik adalah pikiran. Bukan makian.
Demagogi adalah ilmu menyiram angin
demi menuai bau, yaitu mencari sensasi dalam psikologi massa untuk menikmati
kebanggaan diri. Sang tokoh akan mencari penonton demagogis, mereka yang siap
menelan angin, siap berjuang dengan modal angin. Dengan psikologi inilah
politik mengepung publik. Demokrasi kita hari ini ada dalam situasi itu.
Duel politik tak lagi bermutu.
Gagasan dihapus oleh hiruk-pikuk ejekan. Sensasi dirayakan, esensi diabaikan.
Rasa gagah memenuhi dada ketika ejekan disambut gempita oleh sesama pendukung.
Sahut-menyahut di ruang sosial melambungkan kebanggaan kubu.
Semacam ketagihan massal, ejekan
menjadi obat perangsang politik. Suatu sensasi aphrodisiacmemompa adrenalin
untuk memuaskan politik demagogi: “Aku mengejek, maka aku ada.” Megalomania di
sana, hipokrasi di sini. Dua-duanya kekurangan pikiran.
Negeri ini didirikan dengan pikiran
yang kuat: bahwa kemerdekaan harus diisi dengan pengetahuan, agar anak negeri
tak lagi dibodoh-bodohi oleh kaum pinter dari luar. Kebodohan mengundang
penjajahan.
Kemerdekaan adalah hasil siasat
intelektual, oleh yang berbahasa, maupun yang bersenjata. Politikus dan pejuang
tumbuh dalam kesimpulan yang sama, yaitu kemerdekaan adalah tindakan pedagogis.
Panglima Sudirman semula adalah
seorang guru, lalu jadi jenderal.
Jadi,
dari mana kita belajar demagogi?
Kendati suka memanfaatkan emosi
massa, Sukarno bukanlah seorang demagog. Ia memang mengumbar retorika, tapi
tetap dalam kendali logika yang kuat. Dalam sebuah pidato lapangan di depan
barisan tentara, Sukarno mengucapkan kalimat kurang-lebih begini:
“Saudara-saudara tentara, kalian
adalah alatnya negara. Dan negara adalah alatnya rakyat. Jadi kalian adalah
alatnya alat.” Bukan sekadar retorikanya bagus, Sukarno mengucapkannya dalam
suatu silogisme. Suatu pelajaran logika, bagi rakyat.
Jadi, dari mana kita belajar
mengejek? Tan Malaka memiliki kekayaan metafor. Sutan Sjahrir lihai membekuk
pikiran lawan debat. Mohammad Hatta bersih dalam berkalimat. Begitu juga yang
lain. Pendiri negeri tumbuh dalam tradisi pikiran.
Pidato Sjahrir di Perserikatan
Bangsa-Bangsa (1947), ketika mempertahankan kemerdekaan, disebut oleh New York
Herald Tribune sebagai salah satu pidato yang paling menggetarkan. Jebakan
diplomat Belanda kepada Dewan Keamanan PBB untuk memilih:
“Siapa yang Saudara percaya, mereka
atau orang-orang beradab seperti kami,” ditanggapi Sjahrir dengan enteng:
“Mereka mengajukan tuduhan tanpa bukti, ketimbang membantah argumen saya.”
Debat
adalah pelajaran berpikir.
Negeri ini dihuni oleh gagasan,
karena kita bertemu dengan berbagai pengetahuan mancanegara. Filsafat dan
ideologi sudah lama berseliweran dalam pikiran pendiri negeri. Rasionalitas dan
teosofi beredar luas di awal kemerdekaan. Sastra dan musik disuguhkan dalam
pesta dan konferensi. Suatu suasana pedagogis pernah tumbuh di negeri ini. Tapi
jejak poskolonialnya hampir tak berbekas, kini.
Memang, ada yang putus dari masa itu
dengan periode Orde Baru: kritisisme.
Teknokratisasi pikiran, ketika itu,
melumpuhkan kebudayaan. Birokratisasi politik mengefisienkan pembuatan
keputusan, karena tak ada oposisi.
Kritik yang pedas memerlukan
pengetahuan yang dalam. Sinisme yang kejam datang dari logika yang kuat.
Dua-duanya kita perlukan untuk menguji pikiran publik agar tak berubah menjadi
doktrin, agar panggung publik tak dikuasai para demagog. Kita hendak
menumbuhkan demokrasi sebagai forum pikiran.
Debat adalah metode berpikir. Titik
kritisnya adalah ketika retorika mulai tergelincir. Titik matinya adalah ketika
dialektika terkunci.
Itulah saat kita menikmati debat
sebagai pelajaran berpikir, suatu peralatan pedagogis untuk mendidik rakyat
dengan pikiran. Demokrasi adalah sekolah manusia, bukan arena sabung
ayam.
Hari-hari ini, kita tak melihat itu
karena busa kalimat memenuhi ruang sosial. Busa kekuasaan, busa dendam, busa
hipokrit. Sementara di belakang panggung para dalang mengatur siasat, penonton
dijebak dalam psikologi: terlalu optimistis atau terlalu pesimistis.
Tak ada yang kritis. Tan Malaka
pernah memberi nasihat: “Kita tak boleh merasa terlalu pesimistis, pun tak
boleh merasa terlalu optimistis, karena kedua perasaan itu akan mudah membawa
kita kepada oportunisme.”[ts]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar